Foto Satelit Wuhan Merah Bukan karena Kremasi Pasien Virus Corona

Warna merah menyala di gambar ini ternyata perkiraan cuaca dan prediksi tingkat polutan. Bukan hasil kremasi pasien virus corona.

Agung Pratnyawan
Minggu, 16 Februari 2020 | 07:00 WIB
Gambar prediksi pola cuaca dan tingkat polutan Wuhan. (Windy.com)

Gambar prediksi pola cuaca dan tingkat polutan Wuhan. (Windy.com)

Hitekno.com - Wuhan lagi-lagi jadi sorotan setelah jadi pusah wabah virus corona atau COVID-19. Paling baru, ramai foto satelit Wuhan yang terlihat merah. Yang ternyata bukan foto satelit.

Ilmuwan mengklaim fenomena tersebut berkaitan dengan pembakaran mayat atau kremasi massal pasien meninggal akibat virus corona. Namun ternyata klaim tersebut salah.

Diwartakan dari Daily Mail, Kamis (13/2/2020), peta satelit dalam beberapa hari terakhir telah menunjukkan tingkat SO2 yang mengkhawatirkan di sekitar Wuhan, kota Cina. Yang ternyata gambar ini perkiraan cuaca dan prediksi tingkat polutan.

Baca Juga: 2 Jurnalis China Dilaporkan Hilang Usai Liput Virus Corona di Wuhan

Tingkat sulfur dioksida yang tinggi di Wuhan bisa menjadi tanda kremasi massal, sebagaimana diklaim para ilmuwan. Yang ternyta bukan.

Para ilmuwan mengatakan bahwa tubuh pengkremasi melepaskan SO2 bersama dengan polutan lain termasuk nitrogen oksida. Badan Perlindungan Lingkungan AS mengatakan bahwa membakar limbah medis juga dapat menyebabkan emisi sulfur dioksida.

Selain di Wuhan, perkiraan cuaca dan prediksi tingkat polutan yang tinggi juga terlihat di kota Chongqing, bekas sub-provinsi dari pemerintahan provinsi Sichuan. Wilayah Chongqing saat ini juga berada di bawah karantina terkait virus corona.

Baca Juga: Ramai Video Burung Gagak Terbang, Ternyata Itu Migrasi parsial

Peta dari situs Windy.com yang berbasis di Ceko ini menunjukkan perkiraan cuaca dan prediksi tingkat polutan di Wuhan mencapai 1.350 mikrogram per meter kubik (μg/m3) selama akhir pekan.

Foto satelit Wuhan tampak merah, ilmuwan klaim akibat kremasi pasien virus corona (Windy.com via Daily Mail)
Gambar prediksi pola cuaca dan tingkat polutan Wuhan. (Windy.com via Daily Mail)

Sebagai perbandingan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa tingkat SO2 sebesar 500 μg/m3 tidak boleh dilampaui selama lebih dari 10 menit.

Pemerintah Inggris menganggap konsentrasi 15 menit dari 533 μg/m3 sebagai 'tinggi'.

Baca Juga: Heboh Ribuan Burung Gagak Terbang, Ilmuwan: Itu Normal!

Menurut peta, level SO2 mengalami penurunan dalam beberapa hari terakhir tetapi Wuhan dan Chongqing masih tampak menonjol dibandingkan dengan sebagian besar daerah di Cina lainnya.

Beberapa bagian Wuhan masih menunjukkan konsentrasi di atas 500 μg/m3 pada hari Senin (10/2/2020).

Namun, pemerintah China belum memberikan keterangan pasti bahwa tingkat SO2 yang tinggi terkait dengan kremasi mayat virus corona.

Baca Juga: Top Terpopuler: Kota Wuhan Menyala dari Satelit dan Mitos Burung Gagak

Daerah di sekitar Beijing dan Shanghai, yang tidak diisolasi, juga menampilkan tingkat SO2 yang tinggi, meskipun tidak setinggi yang lain.

China telah memutuskan bahwa tubuh korban virus corona harus dikremasi dalam pemakaman sederhana untuk mencegah pertemuan publik.

Komisi Kesehatan Nasional negara itu mengatakan awal bulan ini bahwa mayat harus "dikremasi cepat dan segera".

Di atas semua itu, ada klaim berulang - meskipun tidak diverifikasi - bahwa para pejabat menyembunyikan jumlah kematian yang lebih tinggi dari yang dilaporkan.

Paling baru, gambar kota wuhan merah menyala tersebut bukan dari tingkat SO2 yang tercipta karena kremasi massal pasien virus corona.

Warna merah tersebut adalah perkiraan cuaca dan prediksi tingkat polutan berdasarkan data sistem pemodelan atmosfer GEOS-5 NASA yang ditayangkan di situs Windy.com.

Pekerja Krematorium Wuhan Klaim Bakar 100 Mayat Sehari

Pekerja krematorium Wuhan mengklaim telah bakar 100 mayat tiap hari (YouTube via Daily Star)
Pekerja krematorium Wuhan mengklaim telah bakar 100 mayat tiap hari (YouTube via Daily Star)

Seorang pekerja krematorium di Caidan, di pinggiran kota Wuhan mengklaim bahwa rumah duka tempatnya bekerja telah mengkremasi 100 mayat setiap hari.

Sejak virus corona menewaskan ratusan orang, ia juga menyebut telah bekerja selama seminggu penuh tanpa istirahat.

Klaim ini cukup mengganggu. Sebab pemerintah China, saat pengakuan itu mencuat ke publik, melaporkan korban tewas virus corona masih di bawah 500 orang.

Disadur dari Daily Star, Sabtu (8/2/2020), para pekerja krematorium di Wuhan mengaku bekerja tanpa istirahat karena terus-menerus mengirim mayat para korban virus corona.

Pekerja hanya bisa istirahat dengan duduk di kursi dan tidur siang ketika ada kesempatan.

Mereka telah membakar 100 mayat setiap hari sejak 28 Januari. Para pekerja krematorium memakai pakaian pelindung dan masker ketika mengurus jenazah korban virus.

Itulah penjelasan ahli kenapa gambar Wuhan berwarna merah, yang ternyata perkiraan cuaca dan prediksi berbagai tingkat polutan bukan dari kremasi massal pasien virus corona. (Suara.com/Rifan Aditya).

Pembaruan Artikel (Update):

Faktanya, gambar warna merah ini bukan dari sulfur dioksida, melainkan perkiraan cuaca dan prediksi berbagai tingkat polutan yang berasal dari partikel, nitrogen dioksida hingga sulfur dioksida.

Seperti diwartakan euronews.com, pihak Windy.com menjelaskan banyak perkiraan kenaikan emisi sulfur dioksida ini berdasarkan data sistem pemodelan atmosfer GEOS-5 NASA.

Pemodelan atmosfer GEOS-5 NASA ini biasanya menghitung probabilitas tingkat polusi berdasarkan sumber emisi yang diketahui berasal dari pabrik dan pembangkit listri dan referensi silang dengan variabel meteorologi.

Sebagai tambahan, menurut artikel ini, seorang profesor kimia dari Italia membuat perhitungan mengenai jumlah mayat yang cukup untuk dibakar hingga mencapai tingkat sulfur dioksida besar yang sama dengan di peta satelit tersebut.

Menurut penjelasannya, setidaknya, perlu ada pembakaran 30 juta mayat untuk bisa menghasilkan kadar sulfur dioksida sebesar itu.

Dari sini diketahui kalau gambar kota wuhan merah menyala tersebut bukan foto satelit, dan bukan dari kremasi massal. Melainkan pemodelan atmosfer GEOS-5 NASA yang memprediksi pola cuaca dan polutan.

Koreksi (Pembaruan per 2 April 2020):

Artikel ini telah dikoreksi dan diperbarui, terutama demi meluruskan fakta-faktanya. Termasuk dengan mengubah/memperbaiki judul & sebagian gambarnya, juga tambahan/penjelesan di bagian isi. Mohon maaf atas kekeliruan sebelumnya dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan.

Berita Terkait
TERKINI

Melalui Yandex Cloud, Yandex Weather, dan Yandex School of Data Analytics (YSDA) berkolaborasi untuk mengintegrasikan ke...

sains | 12:33 WIB

Apa saja fitur canggih yang ada di CBR 150? Simak rinciannya di bawah ini....

sains | 12:12 WIB

Pertamina Foundation bersama Fakultas Kehutanan UGM telah melakukan kerja sama rehabilitasi hutan "Hutan Pertamina UGM"...

sains | 14:04 WIB

Dengan memanfaatkan algoritma AI, perusahaan ini berhasil membuka jalan bagi pengembangan obat terobosan potensial....

sains | 16:10 WIB

Objek ini punya suhu jauh lebih tinggi daripada matahari walaupun tak begitu terang. Objek apa gerangan?...

sains | 16:22 WIB

Pusat Studi Objek Dekat Bumi NASA (CNEOS) telah mencatat lebih dari 32.000 asteroid yang berada dekat dengan Bumi....

sains | 15:44 WIB

Kontribusi Goodenough merevolusi bidang teknologi membuat namanya layak dikenang sebagai sosok penting....

sains | 13:54 WIB

Jika tidak ada yang dilakukan, tingkat diabetes akan terus meningkat di setiap negara selama 30 tahun ke depan....

sains | 18:50 WIB

Vladimir Putin, pertama kali mengumumkan pengembangan drone Poseidon dalam pidato kepada parlemen Rusia 2018 lalu....

sains | 18:26 WIB

Berikut adalah sederet mitos tentang daging kambing yang banyak dipercaya masyarakat. Benarkah?...

sains | 10:19 WIB

Apakah kalian tahu apa perbedaan antara pandemi dan endemi? Simak penjelasannya di sini....

sains | 20:20 WIB

Prosedur bariatrik ramai disorot setelah beberapa seleb Indonesia diketahui menjalani tindakan medis ini....

sains | 17:01 WIB

Begini akal-akalan Toyota untuk memikat orang agar tertarik dengan mobil listrik. Seperti apa?...

sains | 10:25 WIB

SATRIA adalah satelit yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan digital di Indonesia....

sains | 15:42 WIB

Satelit Satria-1 milik Indonesia akhirnya berhasil diluncurkan, diklaim sebagai terbesar di Asia....

sains | 15:59 WIB

Simak penjelasan apa itu El Nino lengkap dan dampak hingga potensi bahayanya bagi Indonesia....

sains | 15:48 WIB

Sering berlama-lama di depan monitor atau ponsel? Leher terasa kaku bahkan cenderung nyeri?...

sains | 16:38 WIB

Apa saja tanda-tanda rabies pada anjing? Awas jangan sampai terkena gigitanya, ya! Bisa fatal!...

sains | 13:09 WIB
Tampilkan lebih banyak