Ilustrasi Face Recognition. [Freepik]
Hitekno.com - Rencana pemerintah menerapkan registrasi kartu SIM berbasis biometrik pengenalan wajah untuk pelanggan baru mulai 1 Januari 2026 menuai sorotan.
Sejumlah pengamat menilai kebijakan ini menyimpan risiko serius, khususnya terkait keamanan data dan perlindungan privasi, jika diterapkan tanpa mitigasi yang matang.
Mantan Komisioner Ombudsman RI periode 2016–2021, Alamsyah Saragih, mengingatkan bahwa penggunaan biometrik berbeda dengan sistem keamanan konvensional seperti kata sandi.
Data biometrik bersifat permanen dan tidak dapat diganti apabila terjadi kebocoran.
“Biometrik bukan password yang bisa diganti. Jadi sekali dia masuk, tidak bisa diperbaiki, kemudian dia akan dipakai berkali-kali, itu ada risiko,” ujar Alamsyah dalam diskusi bertajuk Registrasi Pelanggan Seluler Menggunakan Data Kependudukan Biometrik Face Recognition di kanal YouTube Kemkomdigi TV, belum lama ini.
Ia menegaskan, konsekuensi kebocoran data biometrik jauh lebih serius dibandingkan kebocoran password. Jika data wajah atau sidik jari bocor, pemilik data tidak memiliki opsi untuk “mengganti” identitas tersebut.
“Kalau password bocor, masih bisa diganti. Tapi kalau sidik jari dan face recognition, seumur hidup data kita bisa dikumpulkan oleh orang lain,” katanya.
Selain ancaman kebocoran data, Alamsyah menyoroti potensi eksklusi terhadap kelompok masyarakat rentan, seperti lansia, penyandang disabilitas, pekerja informal, hingga warga di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Menurutnya, keterbatasan infrastruktur dan akses teknologi dapat memicu persoalan baru jika sistem belum siap sepenuhnya.
“Ada keterbatasan akses biometrik di wilayah-wilayah tertentu. Kalau ini tidak dimitigasi, ini akan jadi sumber keributan. Saya tidak membayangkan kalau terjadi bencana, ponsel hilang, orang ingin registrasi cepat, tapi harus pakai face recognition sementara sistemnya belum berjalan,” ujarnya.
Baca Juga: Keamanan Registrasi SIM dengan Face Recognition Masih Dipertanyakan Jelang 2026
Risiko ketiga yang disoroti adalah penyimpangan tujuan penggunaan data (mission creep).
Dalam skenario ini, data biometrik berpotensi dimanfaatkan di luar tujuan awal, seperti untuk pengawasan massal, profiling politik, atau kepentingan ekonomi tertentu.
Alamsyah mengingatkan bahwa praktik penyalahgunaan algoritma atau algorithm abuse dapat menggerus independensi individu.
Ia menilai, semakin akurat dan terpusat sebuah sistem registrasi, semakin besar pula potensi penyalahgunaannya.
“Kita mau bikin registrasi itu bagus, tapi justru bisa mempermudah perilaku-perilaku seperti ini. Registrasi yang akurat itu tidak cukup, harus disertai kemampuan mengidentifikasi titik-titik rawan dan memitigasinya,” tegasnya.
Kritik serupa sebelumnya juga disampaikan oleh praktisi hukum David M. L. Tobing.

Ia menilai perlindungan data pribadi seharusnya menjadi prioritas utama sebelum kebijakan registrasi berbasis biometrik diterapkan secara luas.
“Indonesia punya catatan panjang soal kebocoran data di berbagai platform digital,” kata David dalam diskusi bertajuk Ancaman Kejahatan Digital serta Urgensi Registrasi Pelanggan Seluler Berbasis Biometrik Face Recognition yang digelar Kementerian Komunikasi dan Digital bersama Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) di Jakarta, pekan ini.
David menambahkan, meningkatnya jumlah pengguna internet dan layanan seluler turut memperbesar potensi kejahatan digital. Karena itu, penerapan teknologi biometrik harus diimbangi dengan kesiapan regulasi dan sistem pengamanan yang kuat.
“Biometrik memang dibutuhkan, tetapi kesiapan regulasi dan sistem harus benar-benar matang,” pungkasnya.