Presiden ke-7 Jokowi saat ditemui di kediamannya. (Suara.com/Ari Welianto)
Hitekno.com - Polemik seputar dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo atau Jokowi kembali mencuat ke permukaan dan menjadi sorotan tajam sejumlah tokoh publik, termasuk Saut Situmorang, mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Isu ini bukan sekadar persoalan administratif atau legal semata, melainkan telah berkembang menjadi persoalan yang menyentuh aspek moral dan pendidikan bangsa. Saut dengan tegas menyampaikan kekhawatirannya atas dampak jangka panjang dari isu ini terhadap anak muda, khususnya dalam hal persepsi mereka terhadap pentingnya sekolah.
Ia melihat adanya kecenderungan merosotnya penghargaan terhadap pendidikan formal, yang kini mulai terasa di media sosial, terutama di platform seperti TikTok, di mana narasi-narasi meremehkan pendidikan semakin sering muncul dengan menjadikan Jokowi sebagai contoh.
Menurut Saut, jika masyarakat terus membiarkan kasus ini mengambang tanpa kejelasan, maka jangan heran apabila semakin banyak generasi muda yang berpikir bahwa tanpa ijazah dan tanpa pendidikan tinggi pun seseorang tetap bisa menjadi presiden. Saut menganggap narasi tersebut sebagai sesuatu yang sangat membahayakan.
"Di TikTok sekarang anak-anak bilang 'Untuk apa sekolah, nggak sekolah saja bisa menjadi presiden'. Bahaya nggak tuh," ungkapnya sebagaimana dikutip dari podcast yang tayang di kanal YouTube Official iNews pada 15 Oktober 2025.
Bagi Saut, pernyataan seperti itu bukan hanya mencerminkan kekecewaan anak muda terhadap sistem, tetapi juga menunjukkan adanya degradasi nilai-nilai pendidikan yang selama ini dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.
Jika publik tidak segera menuntut penyelesaian dari isu ini secara tuntas dan transparan, maka bangsa ini bisa kehilangan arah moral, terutama dalam menanamkan pentingnya kejujuran dan integritas kepada generasi penerus.
Selain itu, Saut juga menunjukkan kekecewaannya terhadap sikap masyarakat yang tampak acuh terhadap usaha sebagian orang yang berupaya membongkar kebenaran di balik dugaan pemalsuan ijazah Jokowi. Ia menyebut sejumlah nama seperti Roy Suryo, Dokter Tifa, dan tokoh lainnya yang selama ini berjuang mengungkap kasus ini, namun hanya mendapatkan sedikit dukungan dari publik.
"Saya melihat Roy Suryo, Rismon Sianipar, Michael Sinaga, Dokter Tifa, Bonatua Silalahi minim dukungan. Padahal ada 285 juta rakyat," sambungnya.
Dalam pandangan Saut, ketidakpedulian masyarakat terhadap isu integritas seperti ini hanya akan memperparah krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara dan para pejabatnya.
Baca Juga: Kode Redeem Mobile Legends 19 Oktober 2025 Terbaru, Cek Hadiah Autumn Event Moonton!
Lebih dalam lagi, Saut tidak hanya melihat masalah ini sebagai perkara personal atau terbatas pada satu individu, melainkan sebagai bagian dari masalah yang lebih besar dalam dunia politik Indonesia.
Ia menyoroti bagaimana nilai-nilai integritas tampaknya semakin tergerus oleh praktik-praktik kekuasaan yang tidak transparan. Sebagai contoh, ia menyinggung soal pengangkatan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden, meskipun usia Gibran saat pencalonan sempat menjadi kontroversi hukum.
Menurut Saut, hal ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan bisa membelokkan aturan yang seharusnya menjadi landasan hukum bersama.
"Kebohongan, penipuan, mendukung orang yang tidak berintegritas. Anak belum cukup umur jadi wapres (Gibran Rakabuming Raka), itu ngikut," ungkapnya dengan nada tegas.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa polemik ijazah Jokowi bukan hanya soal dokumen palsu atau tidak, tetapi telah menjadi simbol dari berbagai penyimpangan yang terjadi dalam sistem pemerintahan dan politik Indonesia saat ini.
Ketika seorang presiden terus-menerus diterpa isu serius seperti dugaan pemalsuan ijazah, dan tidak ada langkah resmi serta transparan untuk mengklarifikasi hal tersebut, maka kepercayaan publik akan mudah goyah. Apalagi ketika isu tersebut dimanfaatkan oleh sebagian pihak di media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan yang merusak motivasi dan pandangan anak muda terhadap pentingnya pendidikan.
Isu ini kembali menjadi sorotan setelah Roy Suryo, pakar telematika yang cukup vokal, menyampaikan bahwa ia menemukan bukti-bukti yang dianggap memperkuat dugaan adanya ijazah palsu.
Roy membandingkan dua salinan ijazah Presiden Jokowi yang diterbitkan oleh KPU Pusat dan KPU DKI Jakarta. Dari hasil pengamatannya, ia mengklaim terdapat perbedaan mencolok yang cukup signifikan dan memperkuat dugaan bahwa dokumen tersebut tidak otentik.
Ijazah yang menjadi polemik ini adalah ijazah dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat di mana Jokowi diklaim pernah menempuh pendidikan tinggi. Bila dugaan tersebut terbukti benar, maka bukan hanya reputasi pribadi Jokowi yang dipertaruhkan, tetapi juga kepercayaan terhadap institusi pendidikan, penyelenggara pemilu, dan sistem ketatanegaraan secara keseluruhan.
Unggahan itu pun sontak menuai beragam respons dari publik.
"Karena orang-orang yang ada di institusi yang bertugas menegakkan keadilan sekarang ini, integritas dan kejujurannya tidak jelas," tulis akun @ikhw********.
"Ini akibat pejabat-pejabat yang seharusnya diisi dengan SDM berkualitas tapi diisi oleh mereka yang tak punya kualitas," tambah @drss*********.
"Anak-anak mengeluarkan unek-uneknya itu hasil dari kepemimpinan Jokowi," komentar @978********.