Ilustrasi logo Xiaomi. [Unsplash/BoliviaInteligente]
Hitekno.com - Perjalanan Xiaomi menuju puncak industri teknologi dunia dibangun di atas fondasi inovasi, harga terjangkau, dan strategi pemasaran yang brilian. Namun di balik kesuksesan besar itu, terdapat sejumlah gimmick yang menuai kritik dari para penggunanya sendiri. Beberapa langkah yang dianggap jitu dari sisi bisnis ternyata sering menimbulkan rasa tidak nyaman dan kesan manipulatif di mata pengguna.
Mulai dari kehadiran iklan dalam sistem operasi hingga taktik penamaan produk yang membingungkan, berbagai strategi ini telah menjadi bagian dari citra Xiaomi yang sulit dihapus. Dilansir dari Xiaomi Time pada Kamis (13/11/2025), berikut lima gimmick yang kerap dikeluhkan pengguna di berbagai negara:
1. Iklan di Dalam HyperOS
Salah satu sumber pendapatan yang paling kontroversial bagi Xiaomi adalah praktik penyisipan iklan langsung ke dalam sistem operasinya, baik pada HyperOS versi baru maupun MIUI versi lama. Strategi ini memang membantu perusahaan menjaga harga perangkat tetap kompetitif, tetapi banyak pengguna merasa terganggu dengan kemunculan iklan di antarmuka sistem.
Iklan tersebut biasanya muncul di aplikasi bawaan seperti File Manager, Musik, atau bahkan Pengaturan. Meskipun pengguna bisa menonaktifkannya secara manual, prosesnya tidak selalu mudah. Pola ini lebih sering ditemukan pada lini produk Redmi dan POCO ketimbang seri premium seperti Xiaomi 15T Pro, yang menunjukkan bahwa Xiaomi menargetkan strategi ini pada segmen konsumen beranggaran terbatas.
2. Bloatware dan Aplikasi Tak Diinginkan
Masalah lain yang sering disorot adalah banyaknya aplikasi pra-instal atau yang dikenal sebagai bloatware. Aplikasi-aplikasi ini bukan hanya memakan ruang penyimpanan dan daya baterai, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran mengenai privasi data. Bahkan ketika pengguna dengan hati-hati menolak rekomendasi aplikasi sponsor saat proses penyiapan awal, beberapa aplikasi tetap muncul secara otomatis setelah pembaruan sistem.
Situasi ini menimbulkan kesan bahwa Xiaomi memprioritaskan keuntungan dari kerja sama dengan pihak ketiga ketimbang memberikan pengalaman pengguna yang bersih dan efisien. Walau perusahaan menyediakan opsi untuk menghapus sebagian besar aplikasi tersebut, bagi banyak pengguna hal ini tetap dianggap mengganggu.
3. Penamaan Produk yang Rumit dan Membingungkan
Sistem penamaan produk Xiaomi juga sering menjadi bahan keluhan. Banyak pengguna menganggap bahwa penamaan perangkat—seperti Redmi Note 15, Redmi Note 15 Pro+, atau Xiaomi 15T, tidak hanya rumit, tetapi juga menyesatkan. Bahkan, beberapa staf penjualan resmi terkadang kesulitan menjelaskan perbedaan antara tiap model.
Baca Juga: Kode Redeem Mobile Legends Hari Ini 13 November 2025, Raih Hadiah Eksklusif Hingga Skin fragment!
![Redmi Note 15. [Xiaomi]](https://media.hitekno.com/thumbs/2025/08/22/19813-redmi-note-15/730x480-img-19813-redmi-note-15.jpg)
Masalah ini semakin parah dengan adanya praktik rebranding antarwilayah. Sebagai contoh, seri Redmi K yang dipasarkan di Tiongkok kerap muncul sebagai seri POCO di pasar internasional, sementara Redmi K Ultra diubah menjadi seri Xiaomi T. Contoh klasiknya adalah Redmi K20 yang dirilis secara global dengan nama Mi 9T, sebuah langkah yang hingga kini masih membuat bingung para konsumen.
4. Penjualan Kilat dan Kelangkaan Buatan
Xiaomi juga dikenal dengan taktik “penjualan kilat” atau flash sale yang menciptakan kesan eksklusivitas dengan stok sangat terbatas. Strategi ini awalnya berhasil mencuri perhatian di pasar berkembang karena menimbulkan rasa urgensi dan keinginan membeli.
Namun, di beberapa negara Barat, metode ini dianggap menyesatkan. Misalnya, ketika Xiaomi menjual ponsel seharga 1 pound sterling di Inggris, ternyata hanya tersedia sepuluh unit. Banyak pengguna menuduh perusahaan menciptakan “kelangkaan palsu” untuk menarik perhatian, hingga akhirnya Xiaomi harus meminta maaf secara terbuka. Walau efektif di masa awal ekspansi, strategi semacam ini kini dipandang tidak relevan dan menurunkan kredibilitas merek.
5. Kolaborasi Premium dengan Leica yang Dipertanyakan
Untuk meningkatkan citra premium, Xiaomi menjalin kemitraan dengan Leica dalam pengembangan kamera untuk model flagship seperti Xiaomi 15 Ultra. Kolaborasi ini memperkenalkan fitur-fitur unggulan seperti lensa Leica Vario-Summilux, Mode Potret Master, dan Mode Fotografi Jalanan.
Namun, sebagian pengamat menilai bahwa kerja sama ini lebih bersifat simbolis ketimbang memberikan peningkatan nyata pada kualitas foto. Ironisnya, aplikasi fotografi resmi Leica, yaitu LUX, hanya tersedia untuk iPhone, sehingga membuat kemitraan dengan Xiaomi terlihat kontradiktif. Meski demikian, kerja sama ini tetap memberi nilai strategis bagi Xiaomi dalam bersaing dengan merek premium seperti Apple dan Samsung.
Secara keseluruhan, berbagai strategi ini mencerminkan dilema Xiaomi dalam menjaga keseimbangan antara harga terjangkau dan profitabilitas tinggi. Meskipun pendekatannya sering menimbulkan frustrasi di kalangan pengguna, tak bisa dipungkiri bahwa langkah-langkah tersebut membantu perusahaan mempertahankan daya saing di pasar global. Tantangan besar Xiaomi ke depan adalah bagaimana mempertahankan inovasi sambil tetap memprioritaskan kenyamanan dan kepercayaan konsumen.