Kenaikan PBB di berbagai daerah (Instagram)
Hitekno.com - Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) tengah menjadi sorotan tajam di berbagai wilayah Indonesia.
Sejumlah pemerintah daerah (Pemda) menaikkan tarif secara signifikan dengan dalih menyesuaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang telah lama tidak diperbarui dan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun, langkah ini memicu gelombang protes dari masyarakat yang merasa terbebani oleh lonjakan tagihan yang dinilai tidak wajar.
Dasar hukum utama kebijakan ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), yang memberikan kewenangan kepada Pemda untuk menetapkan tarif PBB-P2 hingga batas maksimal 0,5%.
Namun, implementasinya di lapangan menunjukkan potret yang beragam, dari lonjakan ekstrem hingga pemberian insentif besar-besaran.
Daerah dengan Lonjakan Drastis dan Protes Massal
Di beberapa daerah, kenaikan PBB-P2 terasa seperti tsunami bagi kantong warga. Di Kota Cirebon, Jawa Barat, kenaikan tarif bahkan dilaporkan mencapai 1.000%.
Seorang warga mengeluhkan tagihannya membengkak dari Rp6,2 juta menjadi Rp65 juta dalam setahun.
Kenaikan drastis ini, yang dipicu oleh penyesuaian NJOP setelah belasan tahun, memaksa DPRD dan Pemkot Cirebon berjanji akan merevisi Peraturan Daerah (Perda) terkait.
Serupa tapi tak sama, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, juga bergejolak.
Baca Juga: Raja FPS Telah Kembali: Open Beta Battlefield 6 Pecahkan Rekor, Peta Baru Siap Gempur Pekan Ini
Di sini, kenaikan PBB bahkan ada yang menembus angka 1.202% atau lebih dari 12 kali lipat.
Akibatnya, sekitar 5.000 warga melayangkan protes, bahkan ada yang membayar pajak dengan uang koin sebagai bentuk perlawanan simbolis.
Di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, warga mengeluhkan lonjakan hingga 400%.
Pemkab berdalih kenaikan hanya terjadi pada 45.977 dari total 775.009 objek pajak yang berada di lokasi strategis.
Meskipun begitu, pemerintah tetap membuka opsi pengajuan keringanan bagi warga yang merasa keberatan.
Gelombang protes juga meluas hingga ke Pekanbaru (Riau) dan Kabupaten Bone (Sulawesi Selatan), di mana kenaikan PBB dilaporkan mencapai 300%.
Di Bone, aksi unjuk rasa mahasiswa bahkan berujung ricuh, menunjukkan tingginya tensi sosial akibat kebijakan ini.
Jalan Tengah: Penyesuaian Tarif Disertai Insentif
Di sisi lain, tidak semua daerah menerapkan kebijakan yang memberatkan.
Beberapa kota besar justru memilih jalan tengah dengan menaikkan tarif secara terukur sambil memberikan berbagai insentif.
DKI Jakarta, misalnya, memastikan kenaikan PBB relatif kecil, hanya sekitar 5-10 persen.
Lebih dari itu, Pemprov DKI memberikan pembebasan 100% PBB untuk rumah tinggal dengan NJOP di bawah Rp2 miliar, sebuah kebijakan yang sangat membantu masyarakat kelas menengah ke bawah.
Langkah populis juga diambil oleh Pemerintah Kota Surabaya. Melalui Perda baru, Pemkot Surabaya membebaskan PBB bagi rumah dengan NJOP di bawah Rp100 juta.
Kebijakan ini menyasar lebih dari 100 ribu wajib pajak yang dianggap sebagai masyarakat berpenghasilan rendah.
Pemkot juga gencar mengadakan program pemutihan denda untuk tunggakan PBB sejak tahun 1994.
Demikian pula di Kabupaten Bandung, yang memberikan diskon pokok PBB hingga 100% untuk ketetapan pajak di bawah Rp500.000 dan menghapuskan seluruh tunggakan dari tahun 1994-2024 bagi wajib pajak yang melunasi PBB tahun 2025.
Di Kota Tangerang, pemerintah menetapkan tarif PBB 0% untuk NJOP hingga Rp150 juta dan memberikan diskon serta pembebasan denda dalam rangka HUT RI.
Daerah yang Memilih 'Status Quo'
Di tengah gejolak kenaikan, ada pula daerah yang memilih untuk tidak menaikkan tarif PBB.
Pemerintah Kabupaten Serang, Banten, memastikan tidak ada kenaikan PBB pada tahun 2025, meskipun ada penyesuaian NJOP. Hal ini dilakukan melalui skema stimulus untuk meringankan beban wajib pajak.
Begitu pula dengan Kabupaten Banyuwangi yang memastikan tarif perhitungannya tetap sama seperti sebelumnya.
Fenomena kenaikan PBB-P2 ini mencerminkan dilema yang dihadapi pemerintah daerah, antara kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kemandirian fiskal guna membiayai pembangunan, dengan realitas kemampuan ekonomi masyarakat.
Kenaikan yang drastis tanpa sosialisasi yang memadai terbukti memicu gejolak sosial, sementara daerah yang memilih pendekatan yang lebih lunak dengan insentif cenderung lebih diterima oleh warganya.
Keseimbangan antara dua kutub inilah yang menjadi tantangan utama bagi para kepala daerah di seluruh Indonesia.