Menumpuk di Pulau Ini, Kotoran Penguin Bisa Menghasilkan Gas Tertawa

Ratusan ribu penguin raja pada sebuah pulau di Antartika ternyata menghasilkan gas tertawa yang cukup banyak.

Agung Pratnyawan | Rezza Dwi Rachmanta
Rabu, 20 Mei 2020 | 05:15 WIB
Ilustrasi penguin raja. (Pixabay/ PollyDot )

Ilustrasi penguin raja. (Pixabay/ PollyDot )

Hitekno.com - Para ilmuwan dibuat terkejut serta "pusing" setelah menemukan bahwa kotoran penguin yang begitu banyak di tanah bisa menghasilkan gas tertawa atau dinitrogen oksida (N2O). Penelitian yang bertujuan untuk mengenali efek perubahan iklim justru berhasil mengungkapkan efek kotoran penguin terhadap gas rumah kaca.

Para peneliti yang berbasis di Denmark dan China sedang mempelajari efek dari mundurnya gletser dan gelombang penguin yang menyertainya.

Kedua hal itu dihubungkan dengan tingkat gas rumah kaca di Pulau Georgia Selatan.

Baca Juga: Berbentuk Menyeramkan, Spesies Baru Hewan Laut Dalam Ditemukan Ilmuwan

Ternyata perubahan iklim memancing sebuah umpan balik di mana semakin banyaknya penguin dapat menyebabkan lebih banyak lagi gas rumah kaca.

"Setelah mencari-cari guano (kotoran burung laut) selama beberapa jam, semuanya menjadi aneh. Seseorang mulai merasa tidak enak badan dan sakit kepala," kata penulis studi bernama Bo Elberling dari University of Copenhagen.

Ilustrasi penguin raja. (Pixabay/ Marcel Langthim)
Ilustrasi penguin raja. (Pixabay/ Marcel Langthim)

Pulau Georgia Selatan adalah sebuah pulau dengan suhu dingin yang terletak di Atlantik Selatan, sebelah utara Lingkaran Antartika.

Baca Juga: Sebelum Era Dinosaurus, 5 Hewan Ini Sudah Ada

Pada penelitian yang telah diterbitkan di jurnal Science of the Total Environment, selama 50 tahun terakhir, gletser di pulau tersebut telah mundur cukup signifikan.

Heaney Glacier-nya telah mundur sejauh satu kilometer sejak 1993.

Lokasi pulau di dekat Lingkaran Antartika membuatnya menjadi habitat utama untuk para penguin.

Baca Juga: Sambil Karantina Rumah, Kamu Bisa Ikut Ilmuwan Amati Penguin Antartika

Pulau itu menjadi tuan rumah populasi penguin raja (king penguin) terbesar di dunia, yaitu sekitar 300 ribu ekor penguin.

Ilustrasi penguin raja di South Georgia. (YouTube/ ThePenguinProf)
Ilustrasi penguin raja di South Georgia. (YouTube/ ThePenguinProf)

Saat gletser terdesak mundur, maka penguin-penguin itu semakin mempunyai tempat yang luas.

Semakin banyak penguin, semakin banyak pula kotoran penguin yang menyimpan nitro oksida dan karbon dioksida.

Baca Juga: Tersembunyi Selama 3.000 Tahun, 1,5 juta Penguin Ditemukan di Pulau Ini

Keduanya merupakan gas rumah kaca yang kuat di tanah.

Dikutip dari Gizmodo, para peneliti mengambil sampel tanah di lima lokasi antara bagian depan gletser dan pantai.

Setelah dianalisis di laboratorium, ilmuwan menyimpulkan bahwa tanah dan lokasi yang paling dekat dengan koloni penguin memiliki dinitrogen oksida atau gas tertawa lebih besar.

Gas tertawa dapat membuat manusia merasa rileks dan gembira bahkan bisa menimbulkan halusinasi ringan.

Kotoran penguin sendiri tidak secara langsung menghasilkan gas tertawa.

Namun ketika nitrogen di dalam kotoran masuk ke tanah, maka tanah bisa mengubahnya menjadi dinitrogen oksida.

Semua analisis membuat peneliti menyimpulkan bahwa koloni penguin adalah hotspot untuk emisi gas rumah kaca, terutama untuk nitrat oksida gas rumah kaca yang kuat.

Mungkin jumlah gas akan meningkat saat penguin bergerak ke daratan.

Studi tidak menyarankan kita untuk melakukan sesuatu seperti mengurangi jumlah penguin karena jumlah gas rumah kaca yang mereka hasilkan termasuk kecil jika dibandingkan gas rumah kaca seluruh dunia.

Namun, ini merupakan studi yang menarik karena mengungkapkan bahwa perubahan iklim yang disebabkan manusia bisa mengubah ekosistem.

Semakin mundurnya gletser di Antartika, maka semakin banyak pula populasi penguin sehingga gas tertawa juga semakin banyak.

Berita Terkait
TERKINI

Melalui Yandex Cloud, Yandex Weather, dan Yandex School of Data Analytics (YSDA) berkolaborasi untuk mengintegrasikan ke...

sains | 12:33 WIB

Apa saja fitur canggih yang ada di CBR 150? Simak rinciannya di bawah ini....

sains | 12:12 WIB

Pertamina Foundation bersama Fakultas Kehutanan UGM telah melakukan kerja sama rehabilitasi hutan "Hutan Pertamina UGM"...

sains | 14:04 WIB

Dengan memanfaatkan algoritma AI, perusahaan ini berhasil membuka jalan bagi pengembangan obat terobosan potensial....

sains | 16:10 WIB

Objek ini punya suhu jauh lebih tinggi daripada matahari walaupun tak begitu terang. Objek apa gerangan?...

sains | 16:22 WIB

Pusat Studi Objek Dekat Bumi NASA (CNEOS) telah mencatat lebih dari 32.000 asteroid yang berada dekat dengan Bumi....

sains | 15:44 WIB

Kontribusi Goodenough merevolusi bidang teknologi membuat namanya layak dikenang sebagai sosok penting....

sains | 13:54 WIB

Jika tidak ada yang dilakukan, tingkat diabetes akan terus meningkat di setiap negara selama 30 tahun ke depan....

sains | 18:50 WIB

Vladimir Putin, pertama kali mengumumkan pengembangan drone Poseidon dalam pidato kepada parlemen Rusia 2018 lalu....

sains | 18:26 WIB

Berikut adalah sederet mitos tentang daging kambing yang banyak dipercaya masyarakat. Benarkah?...

sains | 10:19 WIB

Apakah kalian tahu apa perbedaan antara pandemi dan endemi? Simak penjelasannya di sini....

sains | 20:20 WIB

Prosedur bariatrik ramai disorot setelah beberapa seleb Indonesia diketahui menjalani tindakan medis ini....

sains | 17:01 WIB

Begini akal-akalan Toyota untuk memikat orang agar tertarik dengan mobil listrik. Seperti apa?...

sains | 10:25 WIB

SATRIA adalah satelit yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan digital di Indonesia....

sains | 15:42 WIB

Satelit Satria-1 milik Indonesia akhirnya berhasil diluncurkan, diklaim sebagai terbesar di Asia....

sains | 15:59 WIB

Simak penjelasan apa itu El Nino lengkap dan dampak hingga potensi bahayanya bagi Indonesia....

sains | 15:48 WIB

Sering berlama-lama di depan monitor atau ponsel? Leher terasa kaku bahkan cenderung nyeri?...

sains | 16:38 WIB

Apa saja tanda-tanda rabies pada anjing? Awas jangan sampai terkena gigitanya, ya! Bisa fatal!...

sains | 13:09 WIB
Tampilkan lebih banyak